PENDAHULUAN
Terumbu karang (coral reef) merupakan suatu ekosistem dasar maritim yang berfungsi sebagai habitat atau tempat tinggal untuk binatang – binatang maritim (Dahuri, 1999 dalam Zulfikar, 2008). Fungsi lain dari terumbu karang sebagai suatu ekosistem maritim yaitu sebagai tempat pemijahan, tempat mencari makan untuk makhluk hidup, sebagai pelindung pantai dari degradasi dan pengikisan (Dahuri, 2000 dalam Santoso, 2010). Luas area terumbu karang di Indonesia seluas 85.707 km2 (Tomascik et al, 1997 dalam Zulfikar, 2008)
Keadaan terumbu karang di Indonesia sekarang semakin jelek yang diakibatkan oelh musibah dan perbuatan manusia. Bencana alam berupa coral bleaching, angin badai dan tsunami sanggup merusak ekosistem terumbu karang di dasar maritim (Westmacott, 2000 dalam Rudi, 2005). Kerusakan terumbu karang terbesar diakibatkan oleh ulah insan ibarat kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, ibarat pemboman, pembiusan, penggunaan racun oleh nelayan, penambangan karang dan pasir merupakan kegiatan insan yang sanggup merusak ekosistem terumbu karang (Kembey, 2017).
Menurut Zulfikar, (2008) upaya perbaikan ekosistem terumbu karang di Indonesia harus diperbaiki secepatnya lantaran waktu pemulihan dari ekosistem terumbu karang relatif usang dan meminimalisir keruskaan semakin parah. Upaya yang sanggup dilakukan untuk mempercepat permulihan ekosistem terumbu karang yaitu dengan rekayasa teknologi berupa teknologi terumbu karang buatan dan teknologi tranplantasi karang. Menurut Kambey, (2017) teknologi terumbu karang buatan sanggup dilakukan dengan menciptakan terumbu buatan dari materi bambu (bamboreef).
METODOLOGI
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada dua tempat. Penelitian mengenai teknologi fragmentasi buatan karang (Caulastrea furcata dan Cynarina lacrimalis) dilakukan di Laboratorium Pusat Riset Perikanan Tangkap yang terletak di jalan Pasir Putih Ancol Jakarta Utara (Zulfikar, 2008). Penelitian mengenai penempatan terumbu buatan dari materi bamboo “Bamboreef” dilakukan di perairan terumbu karang Kelurahan Malalayang Dua Kecamatan Malalayang Kota (Kambey, 2017).
3.2 Prosedur
3.2.1 Teknologi Fragmentasi Buatan Karang
Proses pengerjaan teknologi fragmentasi buatan karang dilakukan dengan persiapan kolam pemeliharaan, pertolongan pakan tambahan, metode pengambilan karang, aklimatisasi dan fragmentasi. Bak pemeliharaan dipakai unruk tempat penangkaran karang selama masa aklimatisasi sampai fragmentasi. Upaya yang dilakukan untuk menunjang pertumbuhan karang dan sebagai bentik manipulasi habitat karang, maka ditambahakan plankton dari jenis copepod dan nano chloropsis. Sebelum difragmentasi karang terlebih dahulu melalui proses aklimatisasi selama dua minggu. Proses fragmentasi sanggup dilanjutkan apabila kondisi karang yang telah melalui proses kalimatisasi dalam keadaan baik. Fragmentasi memakai gunting menjadi 4 cuilan (Zulfikar, 2008).
3.2..2 Penempatan Terumbu Karang Buatan (Bamboreef)
Tahap yang dilakukan dalam penempatan terumbu karang buatan (bamboreef) yaitu pembuatan bambooreef (terumbu buatan dari materi bamboo), penempatan/peletakan bambooreef di tempat sekitar terumbu karang alamiah, dan monitoring serta pengamatan kehadiran ikan karang. Pembuatan bambooreef memakai materi kayu jawa, paku, tali nylon, dan cableties (Kembey, 2017).
Gambar 1. Bambooreef
3.3 Analisis Data
3.3.1 Teknologi Fragmentasi Buatan Karang
Data yang telah dikumpulkan dilakukan analisis dengan rancangan acak lengkap memakai SPSS for Windows. SPPS yaitu sebuah acara computer yang dipakai untuk menciptakan analisis statistika (Zulfikar, 2008).
3.3..2 Penempatan Terumbu Karang Buatan (Bamboreef)
Analisis yang dipakai sehabis pengumpulan data yaitu dilakukan analisis secara deskriptif kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan perhitungan matematik. Proses analisis dilakukan untuk mengetahui potensi sumber ikan karang yanga berada di tempat bambooreef yang sanggup menggambarakan perikanan di terumbu karang. Perhitungan dilakukan untuk mendapakan besarnya kepadatan ikan (ekor/ha) dan keanekaragam jenis ikan yang ada (Kambey, 2017).
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Terumbu Karang
Kondisi terumbu karang di Indonesia sekarang semakin memburuk, dalam kurun waktu 4 tahun (2004-2008) 34% berkondisi sangat rusak, dan hanya 4% yang dalam kondisi sangat baik, dan dikhawatirkan laju degradasi semakin cepat apabila tidak dilakukan pencegahan dan perbaikan terumbu karang tersebut. Menurut Santoso (2010), kondisi terumbu karang dilihat dari cuilan Kepulauan Seribu, didapatkan penutupan terumbu karang rata – rata tergolong rendah menuju sedang yaitu 27,41%. Kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh peningkatan suhu, kondisi batimetri, pasang surut perairan dan aktifitas insan dalam menangkap ikan serta kegiatan wisata pantai. Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Pangandaran berdasarkan penelitian Hartati (2016), disebabkan oleh musibah berupa tsunami dan ulah insan dalam melaksanakan penangkapan ikan. Hasil penelitian menyatakan ada 66 jenis ikan karang yang terindentifikasi dengan kepadatan sangat jarang. Selain melihat keaneragaman jenis ikan karang, dilihat juga relasi antara ikan dan ekosistem karang di perairan yang lebih sedikit dibandingkan kehadiran ikan dengan tutupan alga. Namun berdasarkan Rudi (2015), musibah tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam tidak ditemukan potensi kerusakan yang serius jawaban tragedi tsunami terhadap ekosistem terumbu karang dilihat dari beberapa stasiun pengamatan ekosistem terumbu karang di Perairan Sabang. Kondisi terumbu karang juga dilihat dari penelitian Indarjo (2004), di Perairan Pulau Panjang Jepara berdasarkan kedalaman perairan yang didapatkan kondisi terumbu karang di kedalaman 3 meter dalam kondisi sedang, sebagian lainnya dalam kondisi buruk. Sedangkan semua stasiun di kedalaman 7 meter dalam kondisi buruk.
3.2 Upaya Perbaikan
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat besar lengan berkuasa di perairan dan proses pemulihan kondisi habitat terumbu karang yang mengalami kerusakan memerlukan waktu yang lama. Hal ini sanggup diatasi dengan melaksanakan upaya perbaikan menggunkana rekayasa teknologi untuk mempercepat pertumbuhan terumbu karang. Teknologi yang sanggup dilakukan ibarat (Zulfikar, 2008) :
a. Teknologi Fragmentasi Buatan Karang
Penelitian memakai dua jenis karang yaitu Caulastrea furcata dan Cynarina lacrimalis. Proses fragmentasi karang jenis Caulastrea furcate difragmentasi dengan memakai gunting pemotong dengan cara memotong karang dan jenis Cynarina lacrimalis membelah karang tersebut pada cuilan pangkalnya menjadi beberapa bagian(1 polip, 2 polip, 3 polip dan 4 polip). Pengamatan dilakukan dengan melihat persentase ketahanan hidup, pertumbuhan panjang dan petumbuhan lebar karang sehabis dilakukan fragmentasi.
Tabel 1. Pengamatan Karang Hasil Fragmentasi
| Caulastrea furcata | Cynarina lacrimalis | ||||||
Jumlah Polip | 1 | 2 | 3 | 4 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Ketahanan Hidup (%) | 100 | 66,7 | 88,9 | 58,3 | 100 | 66,7 | 66,7 | 58,0 |
Pertumbuhan Panjang (mm/bulan) | 1,64 | 1,55 | 1,42 | 1,08 | 1,47 | 0,90 | 0,62 | 0,61 |
Pertumbuhan Lebar (mm/bulan) | 0,71 | 0,82 | 0,51 | 0,62 | 1,57 | 1,16 | 1,16 | 0,89 |
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil fragmentasi jenis karang Caulastrea furcate dan Cynarina lacrimalis sanggup dijadikan upaya untuk mempercepat pertumbuhan karang lantaran ketahanan hidup yang lebih dari 50% sampai 100%. Cara fragmentasi paling baik untuk Caulastrea furcate dan Cynarina lacrimalis dengan perlakuan 1 polip yang mempunyai pertumbuhan panjang dan lebar yang tinggi.
b. Terumbu Buatan Dari Bahan Bambu (Bambooreef)
Pembuatan bambooreef, dipasang ±12 meter dari terumbu karang asli. Pengamatan dan pemasangan bambooreef selama 8 bulan untuk mengetahui bagaimana penyesuaian ikan dengan bambooreef. Setelah 8 bulan ternyata terdapat 15 jenis ikan karang yang diantaranya ditemukan ikan berukuran masih kecil atau belum memasuki ukuran ikan siap tangkap. Hal ini memperlihatkan bahwa penempatan terumbu buatan memperlihatkan habitat yang gres bagi ikan karang dan dalam periode selanjutnya wilayah ini diperlukan akan menjadi tempat penangkapan ikan yang potensial bagi masyarakat nelayan. Keberadaan ikan karang berperan sebagai bioindikator keadaan penyesuaian pengaplikasian bambooreef di perairan. Berdasarkan perhitungan analisis data yang dilakukan pada 15 jenis ikan, diperoleh nilai kepadatan tertinggi yaitu pada jenis ikan Pomacentrus amboinensis dengan 1.0625 indv/m2 dan terrendah yaitu jenis ikan Thalassoma lunare dan Atule mate dengan nilai 0.25 indv/m2. Nilai keanekaragaman diperoleh H’ = 1.14013 memperlihatkan nilai yang rendah. Kondisi ini sanggup dikarenakan perlunya penyesuaian dari binatang – binatang untuk menyebabkan bambooreef sebagai tempat tinggal mereka dan kondisi terumbu karang yang belum terlalu baik. Penelitian dilakukan selama 8 bulan yang merupakan kurun waktu singkat untuk mengamati perkembangan suatu ekositem. Selain dari faktor penyesuaian dari binatang maupun kondisi bambooreef, ada juga faktor lain yang mempengaruhi. Kondisi lingkungan ibarat suhu, salitnitas, kadar oksigen, kekeruhan dan pH menyebabkan faktor eksternal yang besar lengan berkuasa terhadap kepadatan ikan. Penggunaan bambooreef memperlihatkan peluang untuk dijadikan rumah ikan (tempat hidup, mencari makan, bereproduksi dan tempat berkembang) dan bemanfaat untuk berperan sebagai penyedia stok ikan bagi tempat perairan pantai yang telah mengalami degradasi jawaban kerusakan terumbu karang, dan juga sanggup dijadikan bentuk pengembangan penyedia stok ikan untuk perairan sekitarnya (Kembey, 2017).
PENUTUP
Keadaan ekosistem terumbu karang di Indonesia sekarang semakin memburuk yang diakibatkan oleh musibah dan kegiatan insan dalam memenuhi kebutuhkan hidup. Sehingga perlunya upaya untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang yang sanggup dilakukan dengan rekayasa teknologi berupa teknologi terumbu karang buatan dengan materi bamboo (bambooreef) dan teknologi fragmentasi karang. Penggunaan bambooreef cukup baik dalam menanggulangi degradasi dan menjadi tempat tinggal ikan ikan dalam waktu ketahan bambooreef sekitar 8 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Hartati, Sri Turni. 2016. Kesehatan Terumbu Karang dan Struktur Komunitas Ikan di Perairan Pantai Pangandaran, Jawabarat. Jakarta: Jurnal BAWAL Vol.8, No. 1: 37-48.
Indarjo, Agus. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Panjang Jepara. Semarang: Ilmu Kelautan. Desember 2004. Vol. 9, No. 4 : 217 – 224.
Kembey, Alex D. 2017. Kajian Penempatan Terumbu Buatan Dari Bahan Bambu “Bamboreef” di Perairan Malalayang Dua Kecamatan Malalayang Kota Manado). Manado: Jurnal Ilmiah Platax Vol. 5:(1).
Rudi, Edi. 2005. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam sehabis Tsunami. Nanggroe Aceh Darussalam: Ilmu Kelautan. Maret 2005. Vol. 10, No. 1: 50 – 60.
Santoso, Dwi Arif. 2010. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Karang Congkak Kepulauan Seribu. Jakarta: Vol.5, No.2:73-78.
Zulfikar. 2008. Teknologi Fragmentasi Buatan Karang (Caulastrea Furcata Dan Cynarina Lacrimalis) dalam Upaya Percepatan Pertumbuhan pada Kondisi Terkontrol. Jakarta: Jurnal Natur Indonesia Vol.10, No. 2: 76-82.
Sumber https://www.zeevorte.net/