Rabu, 21 Mei 2014

Latar Belakang Restorasi Lahan Gambut


Latar Belakang Restorasi Lahan Gambut Indonesia mempunyai potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha sesudah Kanada (170 juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan rawa terbagi atas 20,1 juta ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (KLH, 2006 dan Direktorat Irigasi dan Rawa, 2012). Penyebaran rawa sebagian besar terdapat di Pulau Sumatera 33%, Kalimantan 44%, Papua 21%, Sulawesi 6% dan sisanya tersebar secara parsial pada areal yang kecil (Wahyunto et al., 2005). Pengembangan rawa untuk kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan atau perikanan masih relatif kecil. Menurut data dari Direktorat Irigasi dan Rawa (2012) lahan rawa yang sudah direklamasi gres sekitar 5,8 juta ha atau 17,3%. Padahal apabila potensi ini sanggup dioptimalkan untuk mendukung ketahanan pangan maka akan sangat mengurangi beban Pulau Jawa yang hingga dikala ini masih mayoritas menyangga ketahanan pangan nasional. Lahan rawa merupakan lahan yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang khas dan kurang cocok untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Sehingga hingga dikala ini pengembangan lahan rawa masih dihadapkan pada hambatan biaya investasi dan pengolahan lahan (pengaturan tata air, pencucian dan perbaikan tanah rawa) yang sangat mahal. 

Di sisi lain ternyata pengembangan rawa untuk kegiatan pertanian atau perkebunan dikala ini dihadapkan pada duduk masalah emisi karbon atau emisi gas rumah beling (GRK) penyebab perubahan iklim (climate change). Lahan rawa, khususnya gambut mempunyai cadangan karbon yang sangat tinggi. Setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180-600 mg karbon, jauh dibandingkan tanah mineral (5-80 mg kabon). Di kawasan tropis, karbon yang tersimpan tanah dan tumbuhan pada lahan gambut sanggup 10 kali lipat kandungan karbon pada tanah dan tumbuhan pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008). Dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) karbon. Akan tetapi gambut sangat rentan terhadap intervensi dari luar. Apabila hutan gambut dibuka dengan menciptakan saluran drainase maka sebagian besar karbon yang ada pada biomassa tanamanakan teroksidasi menjadi CO2, apalagi ditambah dengan pembakaran hutan (Fahmuddin, 2011). Dari 188 juta ha total luas daratan Indonesia, sekitar 11% ialah lahan gambut. Menurut Wetland International dan Delft Haydraulics (Hooijer et al, 2006), informasi perubahan iklim dikala ini telah menempatkan Indonesia sebagai penyumbang emisi tertinggi ketiga sesudah Amerika dan Cina akhir intensifnya ekspansi pembukaan lahan gambut. Masih berdasarkan Wetland International dan Delft Haydraulics (dalam Fahmuddin, 2011), lahan gambut Indonesia menyumbangkan 2000 Mega ton (Mt) CO2 per tahun jauh dibanding emisi yang berasal dari pembakaran materi bakar minyak (500 Mt) dan dari gas (500 Mt). 
Sementara berdasarkan Satgas REDD+ (2012), 60% dari emisi karbon di Indonesia dihasilkan dari deforestasi hutan dan lahan gambut. Pada dasarnya lahan gambut mempunyai sifat fisik dan kimia yang sangat khas yang membuatnya rentan terhadap degradasi menyerupai kekeringan gambut yang tidak sanggup balik (irreversible) dan daya dukung tanah yang rendah sehingga rentan terhadap penurunan muka tanah (subsidence). Pengalaman jelek kegiatan pembukaan lahan gambut sejuta hektar (PLG) di Kalimantan Tengah tahun 1996 telah meninggalkan kerusakan ekosistem gambut dan menyumbang emisi karbon akhir lahan yang kering dan seringnya terjadi kebakaran hingga sekarang. Emisi karbon ialah salah satu faktor penyebab efek gas rumah beling (GRK) yang dikala ini banyak mensugesti perubahan iklim dunia global. Sebagai tindak lanjut protokol Kyoto, pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 dengan perjuangan sendiri dan diperkuat dengan Perpres No. 61 tahun 2011 wacana Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Inpres No. 10 tahun 2011 wacana moratorium (penghentian sementara) pembukaan hutan dan lahan gambut. Konsep pengelolaan rawa juga sudah saatnya diubah ke pada konsep pengelolaan berkelanjutan: peningkatan produktivitas lahan mendukung kesejahteraan dan menjaga kelestarian lingkungan rawa dari degradasi dan emisi. Oleh alasannya itu referensi pengembangan rawa diarahkan pada fungsi lindung (konservasi) dan fungsi kecerdikan daya (pertanian dan perkebunan)1. 
Dengan adanya pembedaan ini kegiatan pengembangan rawa akan sanggup bersinergi dengan kegiatan penurunan emisi karbon. Pengembangan rawa sudah usang dilakukan di Indonesia, contohnya di Sumatera Selatan yang dibuka bersamaan dengan kegiatan transmigrasi dari Jawa ke Sumatera. Di kalimantan juga sudah marak pengembangan rawa, termasuk kegiatan lahan gambut sejuta hektar tahun 1996. Pola-pola pengembangan rawa di setiap wilayah berbeda-beda, demikian juga kendala-kendala pengembangan yang dihadapi juga relatif berbeda. Oleh alasannya itu, penelitian akan mencoba memetakan pola-pola pengembangan rawa di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, sebagai lokasi penelitian. Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut Lahan gambut eks PLG di Kalimantan Tengah dikala ini telah menyisakan lahan- lahan rusak, kurang produktif dan sangat rentan terhadap kekeringan dan kebakaran pada animo kemarau dan banjir pada animo penghujan. Lahan-lahan ini telah berperan menyumbang emisi karbon yang sangat besar. Data KFCP menunjukkan pada selesai 2012, jumlah titik panas (hotspot) di Kabupaten Kapuas terpantau sebanyak 121 titik.

Jumlah ini lebih banyak dari titik api pada Agustus 2009 sebanyak 108 titik. Jumlah titik api tertinggi terjadi pada tahun 2006, yang mencapai lebih dari 600 titik hanya di areal PLG saja. Konsentrasi sebaran titik api ini terletak di kepingan selatan, yang merupakan lokasi peladangan masyarakat. Peningkatan jumlah titik api konsisten dengan berkurangnya jumlah tutupan pohon di hutan gambut Kalimantan Tengah yang berkurang secara signifikan pasca 1998. Dari 64,8% tutupan hutan di lahan eks PLG pada tahun 1991, hanya tersisa 45,7% pada tahun 2000, sebagian besar berada di Blok E di utara (Boehm dan Siegert: 2001). Pola kebiasaan masyarakat dengan pembakaran lahan sebelum diolah memang menjadi faktor utama terjadinya kebakaran, dengan alasan murah dan gampang dilakukan. Faktor lahan gambut yang kondisinya tidak optimal lagi dalam menampung air menjadi faktor pemicu mudahnya terjadi kebakaran gambut.

Upaya revitalisasi dan rehabilitasi lahan sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kementerian PU ialah melaksanakan penataan air pada lahan gambut memakai tanggul (canal blocking). Canal blocking berfungsi untuk menahan anutan air pada jalan masuk sehingga muka air tanah di sekitarnya tetap terjaga. Dengan cara ini, potensi penurunan muka air tanah dan mengeringnya lahan gambut akan sanggup ditekan. Dengan upaya ini lahan tidak akan gampang terbakar dan oksidasi karbon akan sanggup dihindari atau dikurangi. Ini ialah langkah pertama yang sanggup ditempuh dalam merestorasi ekosistem rawa. Langkah-langkah berikutnya yang sanggup dilakukan ialah reboisasi hutan dan penanam tumbuhan produktif bahu-membahu dengan tumbuhan keras. Pembangunan canal blocking dilakukan oleh Balai Wilayah Sungai Kalimantan II yang berhubungan dengan Balai Rawa - Puslitbang SDA. 


Sumber https://www.zeevorte.net/